HUBUNGAN HUKUM,PEMERINTAH DAN NEGARA
HUBUNGAN HUKUM,PEMERINTAH DAN NEGARA
Hubungan antara Hukum, Negara dan Pemerintah
Hukum
Hukum
adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik,
ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara
utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap
kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang
berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum
menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi
manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka
yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali
keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan
antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan
peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah
supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan
tirani yang merajalela."
Negara
Negara adalah
suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannyabaik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah
tersebut. Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau
aturan yang berlaku bagi semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara
independent.
Syarat primer sebuah
negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang
berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara
lain.
Negara adalah
pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut,
dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain
keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu
berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara
diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada
wilayah tempat negara itu berada.
Pemerintah
pemerintah
adalah sebagian atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan untuk pemerintah,
atau lebih simple lagi pemerintah adalah sekelompok orang yang memberikan
pemerintah. Namun secara keilmuan, Pemerintah diartikan dalam beberapa
definisi, antara lain ada pula yang mendefinisikan sebagai
lembaga-lembaga atu badan public yang mempunyai fungsi dan tujuan Negara, ada
pula yang mendefinisikan sebagai sekumpulan orang-orang yang mengelola
kewenangan-kewenangan, melakasanakan kepemimpinan dan koordinasi pemerintahan
serta masyarakat dari lembaga-lembaga dimana mereka ditempatkan.
Contohnya : Camat,lurah,PNS dll
Hubungan antara hukum dan negara.
Diantara
para sarjana ada dua pendapat tentang hubungan hukum dengan
Negara itu. Sebagain ada yang membedakan
antara hukum dengan Negara itu, dan
ada pula yang menyamakannya. Yang
mengidentikkan Negara dengan hukum itu
ialah Kelsen. Kelsen mengakui bahwa
Negara terikat kepada hukum, namun tatanan
Negara dan tatanan hukum itu sama, hanya
Negara adalah system norma-norma.
Menurut Kelsen, Negara ialah kerukunan
yang telah ditatan (Zwangs ordnung),
tatanan yang dipertahankan oleh
paksakan, dimana terdapak hak memerintah dan
kewajiban menurut, sehingga dengan
demikian ia berkesimpulan bahwa Negara dan
hukum adalah sama. Menurut Kelsen, kalau
Negara telah dipandang sebagai kesatuan
tatana-tatanan, maka tidak terdapat
kemungkinan lain untuk membedakannya dengan
hukum. Negara dan hukum termasuk dlam
katagori yang sama, yaitu “tatanan
normative”. Wujud norma hukum dilihat
dalam sifatpaksa itu, maka secara sama
hukum dan Negara adalah tatanan-tatanan
paksa dalam arti system norma-norma
yang mengatur secara paksa. Arti kata
tujuan negara berakhir pada definisi hukum.
Adlah picik apabila kita memandang
alat-alat paksaan dan kekuasaan Negara itu
sebagai barangbarang nyata seperti
senjata, benteng, alat-alat produksi dan
sebagainya, seperti yang dikatakan
Lassale : “Negara adalah meriam-meriam dan
bayonet-bayonet tentara,
kelewang-kelewang dan revolver-revolver polisi. Menurut
Kelsen, semua itu adalah barang-barang
mati, yang tidak dapat bergerak tanpa
digerakkan oleh manusia. Aturan atau
norma perbuatan manusia itulah yang
menentukan, yang menjadi tujuan
sebenarnya. Kekuasaan itu tidak terletak pada
wujud barang-barang itu. Kekuasaan
social terletak dalam kekuatan pendorong
tanggapan norma-norma tertentu. Negara
sebagai kekuasaan tidak berdiri di belakang
norma-norma hukum. Negara itu adalah
tatanan cita-cita yang telah menjadi
kenyataan. Sedetik saja kekuatan
pendorong ideology ini hilang, maka hilnglah
kekuasaan Negara itu, walaupun jumlah
senapan mesin tidak berubah. Demikianlah
pendapat Kelsen yang telah
mengidentikkan Negara dengan hukum.
Pendapat Kelsen di atas ditanggapi oleh
Kranenburg. Ia mengakui bahwa
kekuasaan itu bukan barang, tetapi
proses-prose psikis. Negara adalah gejala psikis,
dan Negara adalah sebuah system yang
teratur ; begitu juga hukum adalah gejala
psikis, dan tatanan hukum juga adalah
system yang teratur. Namun kata Kranenburg
hal itu tidak menjadikan Negara identik
dengan hukum. Ia mengatakan bahwa Kelsen
telah membuat kesalahan logis dengan
mengambil kesimpulan bahwa tatanan Negara
dan tatanan hukum dapat dimasukkan dalam
satu pengertian yang lebih luas dan lebih
tinggi, sehingga kedua-duanya termasuk
dalam arti umum system, yaitu gejala-gejala
yang satu dengan yang lain tersangkut
paut dan tersusun bulat, dan kedua-duanya
juga termasuk dalam system gejala-gejala
yang akhirnya setelah dianalisis ternyata
bersifat psikis.
Dilihat dari sudut bahasa, menurut
Kranenburg, Negara dan hukum itu tidak
sama. Ia memberikan contoh-contoh
istilah : tindakan Negara, pertanggungjawaban
Negara, kepala Negara, kepentingan
Negara, apabila kata “Negara” pada istilah itu
digerakkan oleh manusia. Aturan atau
norma perbuatan manusia itulah yang
menentukan, yang menjadi tujuan
sebenarnya. Kekuasaan itu tidak terletak pada
wujud barang-barang itu. Kekuasaan
social terletak dalam kekuatan pendorong
tanggapan norma-norma tertentu. Negara
sebagai kekuasaan tidak berdiri di belakang
norma-norma hukum. Negara itu adalah
tatanan cita-cita yang telah menjadi
kenyataan. Sedetik saja kekuatan
pendorong ideology ini hilang, maka hilnglah
kekuasaan Negara itu, walaupun jumlah
senapan mesin tidak berubah. Demikianlah
pendapat Kelsen yang telah
mengidentikkan Negara dengan hukum.
Pendapat Kelsen di atas ditanggapi oleh
Kranenburg. Ia mengakui bahwa
kekuasaan itu bukan barang, tetapi
proses-prose psikis. Negara adalah gejala psikis,
dan Negara adalah sebuah system yang
teratur ; begitu juga hukum adalah gejala
psikis, dan tatanan hukum juga adalah
system yang teratur. Namun kata Kranenburg
hal itu tidak menjadikan Negara identik
dengan hukum. Ia mengatakan bahwa Kelsen
telah membuat kesalahan logis dengan
mengambil kesimpulan bahwa tatanan Negara
dan tatanan hukum dapat dimasukkan dalam
satu pengertian yang lebih luas dan lebih
tinggi, sehingga kedua-duanya termasuk
dalam arti umum system, yaitu gejala-gejala
yang satu dengan yang lain tersangkut
paut dan tersusun bulat, dan kedua-duanya
juga termasuk dalam system gejala-gejala
yang akhirnya setelah dianalisis ternyata
bersifat psikis.
Dilihat
dari sudut bahasa, menurut Kranenburg, Negara dan hukum itu tidak
sama. Ia memberikan contoh-contoh
istilah : tindakan Negara, pertanggungjawaban
Negara, kepala Negara, kepentingan
Negara, apabila kata “Negara” pada istilah itu
Diganti dengan istilah hukum, jelas
menjadi berubah artinya. Karenanya Kranenburgt
berkesimpilan bahwa Negara itu identik
dengan hukum.
Dalam kaitannya antara Negara dan hukum,
saya sependapat dengan
Kranenburg bahwa Negara tidak identik
dengan hukum. Saya mencoba melihatnya
dari segi lain yaitu dari segi hukum
maka Negara sebagai organisasi kekuasaan dapat
memaksakan sanksinya terhadap si
pelanggar itu. Dalam hal inipun jelas terlihat
perbedaan antara Negara dan hukum ini.
Tentang sanksi hukum ini akan dibahas
dalam uraian selanjutnya.
Hubungan hukum dan pemerintah
Uraian mengenai hubungan hukum dan
kekuasaan, antara lain ditemukan dalam
tulisan Prof.Dr. Mochtar Kusumaatmadja,
S.H., L.L.M., Dr. E. Utrecht, S.H., Prof.
Mr. Dr. van Apeldoorn, dan lain-lain.
Dalam uraian ini akan dikemukakan pendapat
dari ketiga pakar tersebut.
Prof.
Mochtar dalam tulisannya yang berjudul : “Fungsi dan Perkembangan
Hukum dalam Pembangunan Nasional, antara
lain mengulas tentang hubungan
hukum dengan kekuasan ini. Pertama-tama
beliau mengajukan pertanyaan : “samakah
kekuasaan (power) dengan kekuatan
(force) ?. Menurut beliau orang yang memiliki
kekuatan (fisik) sering juga berkuasa,
sehingga ada kecenderungan setengah orang
untuk menyamakan saja kekuasaan (power)
itu dengan kekuatan (force), namun
adakalanya bahkan sering tidak demikian.
Sering kita melihat seseorang yang
berkekuatan dikuasai oleh seorang yang
fisik lemah. Cukup kita ingat pada “kaum
yang lemah” untuk berkesimpulan bahwa
kekuasaan itu tidak tidak selalu menyertai
kekuatan dan sebaliknya. Ini disebabkan
karena kekuasaan tidak selalu, bahkan sering
tidak bersumber pada kekuatan fisik.
Kekuasaan
sering bersumber pada wewenang formil (formal authority) yang
memberikan wewenang atau kekuasaan
kepada seseorang atau suatu fihak dalam
suatu bidang tertentu. Dalam hal
demikian dapat dikatakan, bahwa kekuasaan itu
bersumber pada hukum, yang ketentuan-ketentuan
hukum yang mengatur pemeberian
wewenang tadi, Mengingat bahwa hukum itu
memerlukan paksaan bagi pentaatan
ketentuan-ketentuannya, maka dapat
dikatakan bahwa hukum memerlukan kekuasankekuasaan
bagi penegaknya. Tanpa kekuasaan, hukum
itu tak lain akan merupakan
kaidah social yang berisikan anjuran
belaka. Sebaliknya, hukum berbeda dari kaidah
social lainnya, yang juga mengenal
bentuk-bentuk paksaan, dalam hal bahwa
kekuasaan memaksa itu sendiri diatur,
baik mengenai cara, mupun ruang gerak atau
pelaksanannya oleh hukum. Kita mengenal
polisi, kejaksaan dan pengadilan, sebagai
pemaksaan atau penegak hukum Negara yang
masing-masing ditentukan batas-batas
wewenangnya.
Beliau
menyimpulkan hubungan hukum dengan kekuasaan dalam masyarakat
sebagai berikut : hukum memerlukan
kekuasaan bagi pelaksanannya, sebaliknya
kekuasaan itu sendiri ditentukan
batas-batasnya oleh hukum. Secara popular,
kesimpulan ini barangkali dapat
dirupakan dalam slogan : hukum tanpa kekuasaan
adalah angan-angan, kekuasaan tanpa
hukum adalah kelaliman.
Menurut beliau dari kesimpulan di atas
dapat ditarik kesimpulan selanjutnya
bahwa kekuasaan merupakan suatu unsure
yang mutlak dalam suatu masyarakat
hukum dalam arti masyarakat yang diatur
oleh dan berdasarkan hukum. Secara
analitik, dapat barangkali dikatakan
bahwa kekuasaan merupakan suatu fungsi
daripada masyarakat yang teratur.
Kesimpulan ini memaksa kita untuk mencoba
menyalami lebih jauh fenomena kekuasaan
yang demikian pentingnya dalam
kehidupan bermasyarakat itu. Apakah
hakekat pemerintah itu ?.
Di
atas telah dikatakan bahwa kekuasaan sering berjatuhan sama dengan
kekuatan fisik (termasuk senjata) dan
bahwa kekuasaan itu dimiliki oleh orang yang
berwenang, karena itu dikatakan bahwa
kekuatan fisik (forse) dan wewenang resmi
(formal authority) merupakan dua sumber
daripada kekuasaan. Dapatkah lalu kita
katakana bahwa kekuasaan itu adalah
wewenang dan kekuatan ?.
Menurut beliau jawabannya adalah tidak,
Sebab walaupun bagi suatu anggapan
yang terbatas tentang kekuasaan,
definisi demikian mungkin benar, pengamatan
kenyataan social menunjukkan bahwa
anggapan demikian tidak memadai.
Adakalanya
orang yang formil mempunyai wewenang formil dan kekuatan fisik
dalam keadaan tertentu dalam
kenyataannya tidak memiliki atau tidak (dapat)
melaksanakan kekuasaannya. Kenyataan ini
memaksa kita menarik kesimpulan
bahwa wewenang formil dan kekuatan
fisik, bukan satu-satunya sumber kekuasaan.
Memang dalam kenyataan, orang yang
memilki pengaruh politik atau keagamaan,
dapat lebih berkuasa dari yang berwenang
atau memiliki kekuasaan fisik (senjata).
Komentar
Posting Komentar